Perdebatan tentang hukum karma sudah berlangsung sejak ribuan tahun yang
lalu. Antara yang mempercayainya ada, yang meragukannya, yang belum paham
samasekali, maupun yang tidak mempercayai. Sebelum melanjutkan tulisan berikut,
seyogyanya kita berusaha memahami terlebih dahulu apa itu hukum karma. Dari
berbagai keterangan yang ada, setidaknya dapat disimpulkan bahwa hukum karma
atau karma sepadan dengan apa yang di maksud hukum timbal balik. Dalam falsafah
Jawa senada pula dengan apa yang dimaksud hukum sebab akibat. Dalam literatur
Barat, dikenal dengan istilah hukum kausalitas. Apakah hukum karma yang
sedemikian menghebohkan dunia spiritual, filsafat, ilmu pengetahuan, sains dan
teknologi ini kemudian layak dianggap tidak ada sama sekali ? Saya tidak ingin
tergesa dalam menjawab pertanyaan tersebut, sebelum saya pribadi dapat
membuktikannya sendiri, baik secara langsung, tak langsung, secara logika
maupun
pengalaman lahir dan batin.
Secara sederhana hukum karma atau sebab akibat dapat dipahami dengan logika
sederhana pula. Sebagaimana dalam rumus yang mempunyai dalil “ada asap, berarti
ada api”. Dalam bahasa yang sederhana dapat dikatakan “ada akibat, tentu ada
penyebabnya pula”. Yang jelas di dalam hukum karma terdapat pola hubungan
erat antara penyebab dan akibatnya. Rumus ini dapat diterapkan untuk memahami
setiap kejadian atau peristiwa dalam kehidupan sehari-hari kita. Dengan
demikian, hukum karma dapat didefinisikan sebagai hubungan sebab-akibat
atas perbuatan yang pernah kita lakukan (sebagai sebab) dan apa
yang akan kita alami kemudian (sebagai akibatnya). Dengan demikian di
dalam hukum karma terdapat pola hubungan yang bersifat positif atau baik,
maupun negatif atau buruk. Hukum karma yang memiliki pola sederhana akan mudah
dibaca, misalnya setelah kita berbuat jahat atau membuat masalah, selanjutnya
kita akan tertimpa masalah atau balik dijahati orang lainnya. Misalnya, kita
melakukan penganiayaan terhadap seseorang, maka akibatnya kita akan dimusuhi
keluarganya, teman-teman dari seorang yang dianiaya tadi. Bahkan kelak anak
turun seseorang yang dianiaya akan memusuhi anak turun kita sendiri.
Sebaliknya, setelah kita berbuat kebaikan, selanjutnya kita akan menerima
kebaikan pula. Kita menolong seseorang, maka ia atau keluarga yang kita
tolong suatu waktu ingin gantian menolong kita di saat kita mendapat kesulitan.
Bahkan anak turun yang kita tolong akan mengenang kebaikan yang pernah kita
lakukan, dan ingin sekali mereka membalas budi-kebaik kita di waktu
selanjutnya. Pola hubungan dalam hukum karma atau hukum sebab-akibat
dapat kita uji coba pula keberadaannya. Misalnya, para pembaca yang budiman
gemar sekali membantu dan menolong orang lain yang sedang mengalami kesulitan.
Maka, Anda akan selalu mendapat kemudahan dalam setiap urusan. Sekalipun pernah
terpentok saat-saat di mana Anda merasa tidak ada lagi jalan keluar, di saat
Anda betul-betul sedang dalam keadaan yang sangat genting dan darurat
pada akhirnya datang lah “the last minute man” atau “dewa penolong”.
Jika anda mereview perjalanan hidup anda ke belakang, disadari atau tidak Anda
pernah berperan menjadi “the last minute man” atau berperan
sebagai “dewa penolong” disaat seseorang sedang dalam keputus-asaan.
“MISSING LINK” dalam KARMA
Dibutuhkan kecermatan dalam membaca “benang” yang menghubungkan antara suatu
kejadian (sebagai akibat) dari kejadian sebelumnya (penyebab). Terkadang dalam
hukum karma terdapat pola hubungan sebab-akibat yang sangat sulit dilacak
bagaimana pola hubungan itu terjalin. Seolah tak ada hubungannya sama sekali.
Sebagai contoh, seseorang tewas akibat bencana alam, misalnya
diterjang gelombang tsunami. Jika tewasnya seseorang itu dikaitkan dengan hukum
karma, tentu akan sulit sekali dilacak. Benarkah seseorang yang diterjang
tsunami hingga tewas sedang menjalani karma? Jika tanpa pemahaman yang mendalam
pada saat kita menelusuri pola-pola hubungan dalam hukum karma, kesimpulan yang
mengkaitkan di antara dua kejadian tersebut (bencana alam dengan korban
bencana) menjadi terasa janggal, seolah terlalu memaksakan diri
menghubung-hubungkan dua hal yang tak ada hubungannya sama sekali. Seolah
terdapat missing link, atau mata rantai hubungan sebab akibat yang
terputus alias tak nyambung.
Hal itu disebabkan adanya pola hubungan yang sangat rumit. Yang membuat
kemampuan untuk memahami menjadi terbatas. Dalam terminologi Jawa disebut,”datan
bisa hanggayuh kawicaksananing gusti”. Tak mampu memahami kebijaksanaan
alam semesta. Dua hal itu tak cukup dijabarkan melalui pola hubungan yang
bersifat sederhana dan matematis. Misalnya ia tewas gara-gara terlelap dalam
tidur, sehingga tidak dapat menyelamatkan diri saat terjadi tsunami. Jawaban
seperti itu bersifat klise, hanya mengena pada “kulit” luarnya saja alias tidak
menyentuh hal-hal yang esensial dan prinsipiil. Benar tetapi tidak
tepat. Walau sulit, kiranya akan lebih bermanfaat bila kita berusaha
menjawab pola hubungan yang jauh lebih mendalam, misalnya dengan menjawab
pertanyaan, “kenapa ia tewas? Jawabnya tentu bukan jawaban
sederhana, misalnya jawaban yang mengatakan,”oh, semua itu sudah kehendak
tuhan”. Ini masih merupakan jawaban klise juga, konsepnya masih
sangat lemah. Bagaimana kita tahu persis jika tuhan berkehendak atas tewasnya
seseorang itu dengan cara dibuat tsunami? Tentu saja hal itu hanyalah kira-kira
atau tindakan berusaha mengambil kesimpulan secara generalisir, gebyah uyah.
Selanjutnya tak ada lagi pelajaran hidup yang sangat berharga yang dapat
digali. Orang menjadi hilang semangat berusaha (ikhtiar), yang terjadi adalah
bukan kepasrahan melainkan sikap fatalistis, sikap tanpa mau berfikir,
berusaha, melainkan sikap apatis menghadapi segala sesuatu. Yang
rugi kita sendiri.
MENGUJI “MISSING LINK”
Dalam hukum karma, banyak pula terdapat pola hubungan yang sangat kompleks
dan memiliki mata rantai sangat panjang serta memiliki rentang waktu sangat
panjang pula. Marilah kita rentangkan logika dan pola pikir kita seluas samudra
tanpa tepian. Perlu kita catat, bahwa suatu sebab tidak selalu memiliki
konsekuensi akibat yang terjadi dalam jeda waktu yang dapat dihitung secara
pasti. Antara sebab dengan akibat tidak selalu terjadi dalam siklus
yang dapat dibilang secara matematis. Jika dijabarkan akan terurai pola
hubungan begitu kompleks, disebabkan oleh multifactor. Pernahkah
Anda berfikir, jika seseorang yang tewas akibat bencana alam karena ia sedang
menjalani akibat dari segala perbuatan dan tindakan di masa lalunya ? Dalam
falsafah Jawa disebut sebagai tidakan “Ngunduh wohing pakarti”. Dalam
tradisi spiritual Budhis disebut sebagai karmayoga, dalam tradisi spiritualIslam disebutkan adanya khisab (hari hisab). Walau ternyata terjadinya
khisab tidak musti menunggu setelah ajal atau setelah datang “hari akhir”. Kita
semua bisa menyaksikan, pada kenyataannya “hari khisab” dapat terjadi setiap
hari. Apa yang Anda alami hari ini, merupakan “buah” atas apa yang anda lakukan
beberapa saat lalu, kemarin, pekan lalu, bulan lalu, tahun yang lalu, atau
windu yang lalu. Karma jika didefinisikan sebagai hukum sebab akibat , berarti
pula dalam hukum karma tercakup dua makna, yakni sebagai “buah”, atau hasil
yang baik, bisa juga berupa akibat buruk (yang diartikan sebagai hukuman).
Dalam tradisi samawiah, atau agama rumpun Abrahamisme, disebut sebagai pahala
(kebaikan sebagai sebab) dan surga (prestasi sebagai akibat), atau dosa
(keburukan sebagai sebab) dan neraka (keburukan sebagai akibat/hukuman).
Lantas dari mana datangnya ganjaran baik dan ganjaran buruk (hukuman) tersebut
? Hukuman maupun hasil baik, bukan datang dari orang lain, melainkan
dari diri kita sendiri. Maksudnya, timbulnya akibat yang kita alami
saat ini karena atas perbuatan yang telah kita lakukan sebelumnya. Untuk
mempermudah pemahaman, saya kemukakan contoh, seorang korupor divonis penjara 7
tahun lamanya. Pertanyaannya, vonis tersebut datang dari mana? Apakah datang
dari tuhan, atau dari lembaga legislatif yang membuat
perundang-undangan ? Atau berasal dari lembaga yudikatif atau
hakim suatu perkara? Ataukah vonis itu diberikan oleh pihak-pihak lainnya di
luar ketiganya? Jawabanya TIDAK SEMUANYA! Jika kita cermati, hukuman atau vonis
itu datang tidak lain dari diri kita sendiri, yakni atas perbuatan yang kita
lakukan sendiri. Hakim hanya sebatas melaksanakan rumus-rumus yang
berlaku di dalam hukum alam. Hal itu sepadan dengan bekerjanya mekanisme hukum
di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Sekiranya boleh dikatakan,
karma atau hukuman bukan lagi datang dari “tuhan” yang berperan sebagai pembuat
rumus dan hukum alam secara langsung pada saat kejadian, karena tuhan (hukum
alam) sekedar membentuk rumus-rumusnya secara baku. Selanjutnya rumus-rumus
itulah yang akan bekerja dengan sendirinya melalui mekanisme alam yang begitu
jujur. Sehingga ia akan bekerja secara tepat dan akurat, serta tak bisa
“disuap”. Dapat dibahasakan bahwa hukum alam akan bekerja dengan kadar maha
jujur, maha adil, tak pernah menyisakan ketidakadilan dan ketidakjujuran walau
hanya sebutir biji sawi. Sebagal akibat tentu ada penyebabnya secara esensial.
Bencana alam merupakan salah satu mekanisme hukum alam yang melakukan seleksi
sangat ketat. Kita mudah menemukan orang-orang selamat dari bencana alam
bagaikan keluar dari lobang jarum. Begitu pula para korban bencana alam yang
luka berat, cacat, maupun tewas. Semua itu bukan lah peristiwa KEBETULAN saja.
Bisa jadi para korban sedang menjalani karma-yoga, menebus kesalahan,
sementara yang selamat sedang “menuai buah” atas apa yang pernah ia tanam
jauh-jauh hari sebelumnya, bahkan menuai buah kebaikan yang telah ditanam
oleh para leluhurnya di masa lalu.
RUMUS BERCOCOK TANAM
Pada galibnya, uraian di atas membawa pada kesimpulan, kebaikan akan berbuah
kebaikan, keburukan akan berbuah keburukan. Apapun kebaikan yang kita lakukan
akan kembali pada diri kita sendiri, bahkan jika kebaikan itu berlimpah
ruah kualitas dan kuantitasnya kelak akan meluber
kepada anak turun kita juga. Bekerjanya rumus hukum sebab akibat tersebut,
ibarat menuangkan air ke dalam gelas, apabila air yang Anda tuangkan banyak
sekali, air akan tumpah meluber di seputar gelas. Pun demikian pula, jika kita
menaman pohon, kita sendiri yang akan menuai buahnya, bahkan jika pohon yang
kita tanam berkualitas super, buahnya akan berlimpah ruah, phon akan awet
berbuah dan berumur panjang sehingga kelak anak cucu kita masih akan merasakan
buahnya. Apa yang membuat tanaman kita menjadi tanaman super? Tentu perlu kita
berikan pupuk dan teknik merawat yang tepat. Pupuklah setiap kebaikan dengan ketulusan
tanpa batas, sirami dengan “air kasih sayang”, maka
ia akan menjadi kebaikan yang berkualitas super, bahkan buahnya akan berlimpah
ruah dapat dirasakan oleh anak turun kita.
WASPADA TERHADAP KARMA TURUNAN
Karma Turunan Bersifat Fisik
Sebaliknya, keburukan yang kita lakukan bukan saja akan berbalik pda diri
kita sendiri, bahkan anak turun, anak cucu, akan ikut merasakan akibatnya. Hal
ini yang dimaksud dengan karma turunan. Katanya, dosa akan ditanggung sendiri
oleh si pendosa? Benarkah demikian? Mari kita uji. Kita kadang menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, adalah anak seorang pencoleng, perampok, pembunuh,
yang dikucilkan oleh masyarakat sekitar. Wajar saja, barangkali orang akan
takut dicelakai, kalau-kalau si anak akan menuruni sifat-sifat orang tuanya
yang menjadi penjahat kelas kakap. Bahkan bilamana anak seorang penjahat yang
benar-benar berbisnis dengan jujur pun, orang yang mengetahui riwayat
keluarganya akan menjadi ragu dan takut. Manakala anak seorang penjahat
kakap melamar pekerjaan, kemudian perusahaan melakukan screening
melalui CurriculumVitae-nya untuk melacak asal-usul calon karyawannya apakah
keturunan dari orang baik-baik, ataukah keturunan penjahat residivis. Jika
kedapatan bukti, perusahaan biasanya akan menolak secara halus. Semua itu
merupakan bentuk karma atau “dosa” turunan.
Sisa-Sisa Karma
Saya pribadi termasuk orang yang MERAGUKAN bahwa suatu musibah yang dialami
seseorang dapat terjadi secara independen, mandiri, tanpa rangkaian suatu
sebab. Dengan kata lain musibah tidak akan menimpa seseorang yang tidak
pernah bersalah di masa lalu, dan orang yang terbebas dari karma turunan.
Namun apakah ada orang semacam itu? Menurut apa yang saya alami dan sejauh bisa
saya saksikan sendiri bahwa, setiap musibah, merupakan akibat dari suatu sebab.
Yakni merupakan konsekuansi logis dari kesalahan yang pernah dilakukan kemarin,
minggu lalu, bulan lalu, tahun lalu atau kesalahan yang pernah dilakukan
(secara sadar maupun tidak) di masa lalu. Dan kenyataannya setiap orang
pernah mengalami suatu musibah, karena bukankah semua orang
tanpa kecuali pernah melakukan kesalahan ?!! Besar kecil, ringan
beratnya suatu musibah, tentu saja sepadan dengan suatu kesalahan di masa lalu.
Lebih berbahaya lagi karena kesalahan yang kita lakukan saat ini, apabila
sampai mati kita baru sedikit menebus karmanya, maka hukuman itu tidak saja
menimpa kita di alam sejati, namun bisa pula jatuh ke anak cucu kelak. Anak
cucu bisa saja menanggung karma orang tuanya. Kita bisa pula dalam posisi
sebagai anak turun yang masih menerima sisa-sisa karma para pendahulu kita.
Sebaliknya, karma baik, bisa jadi kesuksesan dan kebahagian yang kita rasakan
saat ini merupakan sisa-sisa karma baik para leluhur di masa lalu. Hal ini
dapat untuk menjelaskan mengapa ada seseorang yang sering mencelakai orang
lain, tetapi hidupnya kok bahagia dan sukses. Tentu saja kesuksesan dan
kebahagiaan itu tidak akan berlangsung langgeng sampai akhir hayat. Karena
hanya bersifat temporer, setelah sisa-sisa karma baik para leluhurnya habis,
akan habis juga kebagahagiaan dan kesuksesan orang itu.
Karma Turunan bersifat Gaib
Wanita Baulawean. Uraian di atas merupakan contoh karma
turunan yang mudah kita cermati pola hubungannya. Ada pula karma turunan yang
sulit dibuka tabirnya. Terutama yang bersifat gaib. Misalnya wanita bahulawean.
Tanda-tanda yang mudah disaksikan, jika wanita tersebut menikah, suaminya
selalu meninggal dunia dalam usia perkawinan yang masih dini, antara 1 bulan
hingga kurang dari 3 tahun. Mati bukan karena kecelakaan, biasanya karena sakit
mendadak, atau menderita sakit ringan saja, tahu-tahu suaminya meninggal. Jika
para pembaca telah memiliki kawaskitan yang memadai, akan dapat melihat, di
dalam rahim wanita baulawean terdapat sebangsa ular dengan ukuran kecil,
kira-kira sebesar pensil. Namun bukan sembarang ular, karena lebih bersifat
metafisik atau bangsa alus. Tanpa disadari oleh istri maupun suami,
ular metafisik itulah yang menjadi penyebab tewasnya si suami. Wanita bahulawean
atau baulawean, memang biasanya ia tak tahu apa yang sedang
dideritanya. Jika kita cari penyebab atau asal-usul keberadaan “ular” misterius
tersebut, ternyata berasal dari karma. Celakanya, bukan karma akibat
perbuatannya sendiri, melainkan karma turunan dari orang tuanya, bahkan dari
kakek neneknya di masa lalu. Jika kita telusuri lebih dalam lagi kira-kira
kesalahan atau dosa macam apa yang menjadi penyebab baulawean, saya pribadi
menemukan benang merah, penyebab utamanya adalah mulut. Di mana mulut sering
sekali lepas kontrol, tak disadari maupun disadari seringkali ucapannya
menyakiti hati orang lain dalam kadar yang sudah sangat keterlaluan. Memutus
karma seperti ini cukup sulit, karena yang dapat kita buang hanyalah “ular”
misterius tersebut. Sementara karma bisa saja berubah dalam bentuk lain. Namun
setidaknya, kita bisa menyarankan seroang baulawean untuk melakukan koreksi
diri, dan berusaha untuk memperbaiki masa lalu para leluhurnya. Caranya antara
lain, cari dan mintakan maaf kepada orang-orang atau keluarga yang dirasa
memusuhi keluarganya, terutama para leluhurnya, atas segala kesalahan yang dulu
pernah dilakukan oleh para leluhurnya. Walau hal itu tidak signifikan merubah
“nasib” mereka yang telah pindah alam keabadian, namun setidaknya dapat
mengurangi karma turunan yang menimpanya.
Nafas bau bangkai. Selain wanita baulawean, saya pernah
secara tak sengaja menemukan seorang yang menderita nafas bau bangkai. Sudah
puluhan dokter ia kunjungi. Sudah sekian macam obat dan jamu ia minum. Tapi
penyakit itu tak kunjung sembuh, bau bangkai tetap keluar dari rongga mulutnya.
Sampai sampai tak ada perempuan yang mau menikah dengannya, hingga usia tua.
Alhasil, penyebabnya sama seperti wanita baulawean, berupa karma
turunan. Orang itu akhirnya sembuh setelah memalui metode yang sama diterapkan
untuk menangani perempuan baulawean. Bedanya hanya pada saat
menyingkirkan “ular” misterius saja. Karena penderita nafas bau bangkai
tidak ditemukan makhluk macam manapun di dalam tubuhnya.
Karma tak langsung. Masih dalam pola hubungan karma
turunan. Yakni korban bencana alam, atau orang yang nasibnya terpuruk,
sementara ia sudah menjalani hidup dalam batas kewajaran sebagai manusia yang
gemar membantu dan menolong sesama, dengan ketulusan pula.
Masih banyak untuk dijabarkan di sini, adanya beragam penyakit sebagai
akibat dari berlangsungnya karma atas perbuatan sendiri, maupun karena karma
turunan. Tentu akan saya jabarkan pada kesempatan dan tulisan berikutnya. Misalnya
suatu karma tentang berpindahnya penyakit dari orang yang sering dianiaya,
kepada orang yang sering menganiaya lahir batinnya. Semua itu bukan
lagi teori, tetapi pengalaman demi pengalaman yang terjadi disekitar kita.
Karma Turunan dan Ketidakadilan Hukum
Kita jangan tergesa menuduh dan menyimpulkan, jika hukuman atau karma
turunan bersifat buruk dan selalu berarti azab atau musibah
dan celaka bagi seorang yang ditimpanya. Telah saya singgung dalam tulisan
terdahulu, kami kemukakan dalam tema,”merubah musibah menjadi anugrah”.
Memang sekilas terasa merupakan sesuatu ketidakadilan. Namun anggapan demikian
ini salah kaprah, karena disebabkan kurangnya pemahaman yang mendalam terhadap
seluk-beluk karma turunan. Karma turunan bisa berubah menjadi
ladang amal kebaikan, atau tanaman yang berkualitas baik yang dapat
menghasilkan buah berlimpah ruah yang dapat kita tuai sendiri hingga anak cucu
kelak. Namun semua itu tergantung si penerima karma turunan. Kita sendiri bisa
memutus karma turunan itu dengan suatu kiat-kiat hidup. Tentu pemutusan karma
turunan itu bisa dilakukan, dengan bekal kita harus mampu mengerti dan memahami
apa sejatinya hidup dan kehidupan ini. Untuk itu dibutuhkan kesadaran spiritual
yang memadai. Untuk mengurai karma turunan, saya mencoba menggunakan ngelmu
Jawa, (maklum saya miskin pengetahuan lainnya). Kiatnya sederhana,
tebuslah kesalahan ortu, atau para leluhur yang menjadi sumber karma. Cara
penebusan juga cukup sederhana, lakukan kebaikan, ketulusan, welas asih
kepada lingkungan alam dan seluruh isinya. Kunci keberhasilannya, tentu
saja masih harus disertai ketulusan tanpa batas. Tahap awal,
kita harus menyadari bahwa apa yangs sedang kita alami merupakan karma
turunan, akibat kesalahan ortu dan para leluhur di masa lalu. Memang bukanlah
kesalahan atas perbuatan yang kita lakukan sendiri. Tentu kesadaran ini dapat
menyulitkan kita untuk menggapai keadaan tulus tanpa batas. Kita perlu
menyadari suatu rumus berikutnya, yakni jika semakin tulus, semakin
cepat selesai pula karma turunan. Menjalani karma, bagaikan menjalani
vonis dalam lembaga pemasyarakatan (LP). Berlakulah baik selama di dalam
lembaga pemasyarakatan, supaya mendapat remisi, atau potongan dan dispensasi masa
hukumannya. Jangan suka grenengan, menggerutu, apalagi timbul sikap tidak
terima. Justru akan membuat masa hukuman menjadi sia-sia. Seperti halnya gol
yang dianulir wasit. Penderitaan yang anda alami akan menjadi sia-sia, ibarat
anda sudah menginjak anak tangga paling atas, lantas terpuruk lagi jatuh, dan
harus memulai memanjat anak tangga dari bawah. Hal itu menjadi penyebab,
mengapa seseorang mengalami derita sepanjang masa, selama hidupnya selalu sial.
Di balik berlangsungnya karma turunan, sebagai bentuk keadilan hukum alam,
maka mekanisme alam semesta telah menyiapkan derivasi rumus lainnya.
Karma turunan akan berubah menjadi segudang berkah anugrah yang berlimpah
ruah. Anda sendiri tak akan bisa menghabiskan, sehingga akan meluber,
sumrambah, mengalir kepada anak turunnya kelak. Apa yang dianggap musibah, akan
berubah menjadi anugrah agung.
Asal kita semua mau memahami, menghayati, dan mengimplementasikan kunci-kuncinya.
KARMA TURUNAN
Singkat saja, karma turunan akan jatuh kepada orang-orang atau anak turun
yang paling dicinta atau paling disayang. Barangkali hal ini sebagai bentuk
keadilan alam pula. Coba, lebih adil mana jika karma turunan jatuh ke anak yang
paling tidak disayang. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Nah, tidak sayang atau
pun kebencian belum tentu tepat pada duduk permasalahannya. Kadang hanya karena
faktor emosi orang tua dan parameter yang begitu kompleks. Artinya, kebencian
ortu pada anak belum tentu karena si anak bukan anak baik-baik. Bisa juga
disebab faktor ortunya sendiri. Karena ortu tidak selalu pada pihak yang benar.
Sekalipun ortu di mana-mana sama saja, selalu bilang bahwa semua anak
mendapatkan kasih sayang sama-rata. Tapi kenyataannya tidak demikian, kita bisa
mencermati dari sikap tindaknya kepada masing-masing anak. Anggap saja hal itu
sebagai sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja. Coba cermatilah diri
Anda, apakah sebagai anak yang paling disayang ortu? Jika di antara Para
Pembaca yang budiman merasakan hal yang sama, bersyukurlah saja, karena di hadapan
Anda sedang disajikan “ladang amal”. Manfaatkan agar betul-betul menjadi
ladang amal, toh Anda sendiri dan anak turun kelak yang akan mengunduh
hasil panen atas apa yang anda tanam di ladang amal pada hari ini.
Nilai Utama ; Memenuhi Tanggungjawab Orang Lain
Nilai paling utama pada saat kita menebus karma turunan, karena kita
menyelesaikan tanggungjawab orang lain, bukan tanggung jawab kita sendiri.
Rumus ini berlaku pula manakala Anda mengangkat seorang bocah terlantar menjadi
anak angkat anda. Kenapa anak angkat seringkali jauh lebih ngrejekeni
(membawa rejeki) dibanding anak sendiri ? Itulah jawabnya, karena anda memenuhi
tanggungjawab orang lain. Sepadan pada saat Anda membantu atau menolong orang
yang sedang dalam kesulitan besar. Esnsi dari menolong dan membantu sesama,
adalah Anda menghandle beban hidup orang lain menjadi tanggungjawab
anda. Itulah nilai kebaikan paling utama. Silahkan dibuktikan sendiri. Karma
baik dengan segera akan Anda rasakan. Ngunduh uwohing pakarti akan
segera anda alami. Kebaikan yang anda lakukan akan berbalik pada diri anda
sendiri, bahkan dengan rumus gema suara, kebaikan akan menjadi berlipat
ganda. Asalkan dengan ketulusan tanpa batas.
Sampai di sini, saya menyimpulkan, bahwa “pagar gaib” yang
paling kuat mampu membentengi diri kita sendiri dari segala macam marabahaya,
musibah dan bencana, tidak lain adalah kebaikan yang kita lakukan. Semakin
banyak kebaikan kita lakukan, semakin tebal dan kuat pula “pagar gaib”
menyelimuti diri kita. So, tak perlu kita minta-minta dipagari dengan berbagai
ilmu kebal. Karena yang mampu melakukan pemagaran paling kuat, adalah diri kita
sendiri. Pemagaran yang dilakukan oleh orang lain, hanya bersifat temporer atau
dapat bekerja untuk sementara waktu saja. Setelah itu akan pudar lagi, lantas
menjadi mudah diguna-guna, disantet, tenung, dan dicelakai oleh orang lain.